Tentang Batik
Kamis, 30 Mei 2013
0
komentar
Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal.
1. teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan
sebagian dari kain . Dalam istilah internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist
dyeing (www.wikipedia.com).
2. kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-
motif tertentu yang memiliki kekhasan.
Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan Untuk Budaya Lisan Nonbendawi
(Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober 2009.
1. teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan
sebagian dari kain . Dalam istilah internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist
dyeing (www.wikipedia.com).
2. kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-
motif tertentu yang memiliki kekhasan.
Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan Untuk Budaya Lisan Nonbendawi
(Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober 2009.
I. Pengertian Batik
Kata Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan
“titik” yang berarti titik. Kata batik merujuk pada kain dengan corak
yang dihasilkan oleh bahan “malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas
kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa
Inggrisnya “wax-resist dyeing”(www.wikipedia.com).
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi
bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama.
Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka
dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan
membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya
“Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini.
Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang
memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega
Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah
lazim bagi kaum lelaki.
Tradisi falsafah Jawa yang mengutamakan pengolahan jati diri melalui
praktek-praktek meditasi dan mistik dalam mencapai kemuliaan adalah satu
sumber utama penciptaan corak-corak batik tersebut selain pengabdian
sepenuhnya kepada kekuasaan raja sebagai pengejawantahan Yang Maha Kuasa
di dunia. Sikap ini menjadi akar nilai-nilai simbolik yang terdapat di
balik corak-corak batik menurut Djajasoebrata (dalam Anas, Biranul,
1995: 64). Pola, motif dan warna dalam batik, dulu mempunyai arti
simbolik. Ini disebabkan batik dulu merupakan pakaian upacara ( kain
panjang, sarung, selendang, dodot, kemben, ikat kepala ), oleh karena
itu harus dapat mencerminkan suasana upacara dan dapat menambah daya
magis. Karena itu diciptakanlah berbagai pola dan motif batik yang
mempunyai simbolisme yang bisa mendukung atau menambah suasana religius
dan magis dari upacara itu. “ Jadi batik tidak hanya untuk memperindah
tubuh dan menyenangkan pandangan mata saja, tapi merupakan bagian dari
upacara itu sendiri bersama dengan alat-alat upacara yang lain” ( Iwan
Tirta, 1985: 3). “Motif-motif batik tidak sekedar gambar atau ilustrasi
saja namun motif-motif batik tersebut dapat dikatakan ingin menyampaikan
pesan, karena motif-motif tersebut tidak terlepas dari pandangan hidup
pembuatnya, dan lagi pemberian nama terhadap motif-motif tersebut
berkaitan dengan suatu harapan”
( Kuswadji, K, 1985:10-11).
Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing.
Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan
beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik
pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan
juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah
dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix.
Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya
adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga
tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau
kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna
biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai
dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki
perlambangan masing-masing.
Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada
keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang
menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di
Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa
ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India,
Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di
beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat
terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama
dari Jawa.
Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan
kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam
beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa
kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan
Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya.
Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat
Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau
awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis
sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia
kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran
ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah
daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi
oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang
menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu.
Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya
untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena
banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian
batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya
masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya
meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk
mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian
keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik
wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah
hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli
Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi,
soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya
dibuat dari tanahlumpur.
II. PERKEMBANGAN BATIK DARI WAKTU KE WAKTU
(A) Batik Pada Jaman Kerajaan Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, dapat
ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah
yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal
nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan
perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah
riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari
peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah
Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal
dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit
daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak
mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahit,
Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar
desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas
tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal
diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain
juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari,
Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di
Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang
dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang
ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila
tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang
dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal
bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat
di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya
dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia
dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik
Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi,
pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha
kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul
kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang
kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah
revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan
batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna
coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad
yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga
mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran
Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan
batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan
Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa
perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih
dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan
pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan
Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama
Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa
Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya
seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini
merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang
Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya
merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai
batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang
para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di
Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat
beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung.
Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di
Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan
sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.
(B) Batik Pada Jaman Perkembangan Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang
kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini.
Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat
hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan
dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari
kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah.
Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan
yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.
Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah
pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan
Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama
Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan
kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang
sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi
menantu oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena
putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke
Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak
pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang
membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi
yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan
menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman
yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa
Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten,
Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat
yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari
kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan
bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain
putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia
pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas.
Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila
yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari
Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha
batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo
setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal
dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar
Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.
(C) Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitarnya abad 17,18 dan
19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa.
Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam
berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat
batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.
Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam
proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan
untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri
seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap
antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.
Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak
kerajaan Mataram ke-I dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah
pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu
terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh
wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap
pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan
tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria
maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh
karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik
pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh
rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja
maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga
raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke
Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan
sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu
menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad
ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan
pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang
menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan
keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan.
Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di
daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro
mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah
ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke
Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di
Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun,
sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik
keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status
seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya
dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari
kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas
bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya.
Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang
dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif
berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain.
Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang
diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian
dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah
beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke
dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Tentang Batik
Ditulis oleh KAK DOTO
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://batikjoss.blogspot.com/2013/05/tentang-batik.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh KAK DOTO
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar